SAYA menolak pesimitis dalam agenda pemberantasan korupsi. Tidak boleh dinafikan bahwa korupsi masih menjadi salah satu permasalahan utama bangsa ini. Tiap hari kita disuguhkan kasus-kasus korupsi yang terus menyita perhatian. Tiada henti, tanpa putus. Pemberitaan demikian tentu penting sebagai wujud kebebasan pers, sekaligus kontrol dan pengingat, bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari selesai.
Namun, apakah benar kita tidak ada pergerakan bahkan mundur dalam pemberantasan korupsi?
Untuk maksud tetap menjaga optimisme, izinkan saya menyampaikan pandangan yang melawan arus deras pesimisme demikian. Sebab, kepesimisan yang terus digaungkan bisa menyebabkan keputusasaan. Padahal dalam memberantas korupsi, pesimisme dan putus asa justru adalah musuh yang harus ditaklukkan.
Saya menolak postulat: Bad news is good news. Menurut saya yang tepat adalah: Bad news is bad news. Good news is good news.
Demikian pula dalam hal pemberantasan korupsi, tidak seluruhnya hanya bad news. Tapi, ada pula good news.
Bad news-nya, berdasarkan survei Transparency International, Indonesia masih merupakan salah satu negara terkorup. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita memang membaik, namun peningkatannya tidak signifikan. Dari tahun 2004 - 2010, IPK kita hanya naik 0,8 poin, dari 2,0 menjadi 2,8. Amat jauh dari memadai dari skala IPK yang 0 - 10.
Meskipun demikian, tetap ada good news. Tren IPK kita terus membaik. IPK 2,8 adalah indeks tertinggi dalam sejarah republik ini. Jauh lebih tinggi pula dibandingkan zaman Orde Baru yang sempat berada pada kisaran satu koma. Memang, kenaikan 0,8 dalam rentang waktu 2004 - 2010 itu masih sangat rendah, tetapi jika dibandingkan dengan negara lain, itu adalah kenaikan indeks tertinggi, nomor satu di antara seluruh negara ASEAN, dan nomor lima di antara seluruh Asia.
Bahkan, melihat kasus korupsi yang terus hadir silih berganti, tidak harus selalu dilihat dari sisi bad news. Karena, good news-nya berarti upaya pemberantasan korupsi telah berhasil mengungkap kasus-kasus yang sebelumnya berada di ruang gelap. Dulu, tidak ada pejabat tinggi eksekutif, gubernur, bupati, walikota yang dijerat kasus korupsi. Di legislatif, puluhan anggota DPR dan ratusan DPRD, sedang dan telah menjalani proses hukum. Demikian pula di yudikatif, hakim, jaksa, polisi, advokat, kurator telah pula tertangkap tangan kasus suap-korupsi. Untuk pejabat negara, Presiden SBY telah memberikan lebih dari 150 persetujuan pemeriksaan terkait kasus korupsi.
Adalah bad news bahwa, menurut perhitungan ICW, dalam 10 tahun terakhir ada 45 orang yang terkait kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri. Tetapi good news-nya, itu berarti, Indonesia dengan KPK-nya, dengan ICW-nya dengan kontrol publik yang semakin kuat, bukan lagi surga bagi koruptor. Good news-nya, upaya pemberantasan korupsi telah menghadirkan iklim takut, sehingga beberapa terduga koruptor lebih memilih bersembunyi di luar negeri.
Di era dahulu, bagi Ibu Nunun Nurbaeti Daradjatun, yang merupakan istri mantan Wakapolri, tidak perlu harus menjadi buron internasional dan lari ke luar negeri. Cukup tinggal santai saja di Jakarta, kemungkinan besar tidak akan ada penegak hukum yang berani menyentuhnya. Dahulu, bagi Nazaruddin, yang sempat menduduki posisi strategis Bendahara Umum partai pemerintah, lari ke luar negeri tak akan sempat hinggap di pikiran. Penegak hukum di zaman dahulu tak akan dapat menyentuh posisi pejabat partai sedemikian strategis. Tetapi sekarang, baik Nunun maupun Nazaruddin, dan beberapa orang terkait kasus korupsi lainnya, harus memilih lari bersembunyi di Singapura.
Bagi para terduga kasus korupsi itu, Singapuralah surga tempat mereka bersembunyi, bukan lagi Indonesia.
Mengapa demikian? Mengapa Singapura yang IPK-nya jauh di atas Indonesia justru lebih merupakan surga bagi koruptor? Jawaban singkatnya, karena upaya pemberantasan korupsi kita tidak berjalan di tempat. Karena agenda pemberantasan korupsi kita membawa optimisme dan good news, tidak hanya pesimisme dan bad news.
Pertama, Indonesia pasca reformasi adalah Indonesia yang lebih demokratis. Negara yang lebih demokratis adalah negara yang lebih antikorupsi. Karena korupsi akan lebih subur di sistem bernegara yang otoriter. Sistem demokratis adalah sistem yang lebih transparan, akuntabel dan partisipatif. Itulah tiga syarat hadirnya good governance.
Kedua, regulasi antikorupsi kita terus membaik. UU Antikorupsi, UU KPK, UU Pengadilan Tipikor, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perlindungan Saksi dan Korban, hingga Perpres Pengalihan Bisnis TNI dan Inpres-inpres antikorupsi jelas melengkapi aturan antikorupsi pasca reformasi.
Ketiga, institusi antikorupsi pasca reformasi jelas lebih lengkap dan berdaya. Sudah pasti KPK, Pengadilan Tipikor, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan adalah beberapa lembaga kunci dalam upaya pemberantasan korupsi.
Keempat, pers yang makin bebas pasca reformasi adalah salah satu elemen vital yang menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Pemberitaan kasus korupsi yang terus hadir membuat kita tetap disadarkan bahwa korupsi masih harus terus diberantas.
Last but not least, partisipasi publik dalam agenda pemberantasan korupsi jelas lebih tinggi dibandingkan di era otoritarian. Kontrol dari masyarakat madani seperti ICW, Pusat kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM Jogja jelas mempunyai kontribusi signifikan dalam mengefektifkan ikhtiar pemberantasan korupsi.
Kelima indikator di atas adalah good news yang selama ini tidak tergaungkan dengan cukup, karena bad news lebih mendominasi.
Ke depan, meski ada good news, kita tentu tidak boleh berpuas diri. Bad news dalam agenda antikorupsi harus dijadikan warning bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari selesai. Regulasi antikorupsi masih harus terus diperbaiki, misalnya dengan membuat UU Perampasan Aset. Institusi KPK dan PPATK harus terus dijaga dan makin diefektifkan.
Bulan Oktober ini akan ada pergantian pimpinan PPATK. Orang yang tepat tentu punya tugas berat untuk melanjutkan keberhasilan kepemimpinan Yunus Hussein yang sudah berakhir masa tugasnya.
Demikian pula dengan pimpinan KPK yang akan berakhir masa tugasnya pada Desember 2011. KPK tentu harus terus dijaga dan dibela dari setiap serangan balik para koruptor yang tak pernah berhenti mengintai. Karena itu proses seleksi pimpinan KPK yang sekarang berlangsung tak boleh gagal dan harus menghasilkan pimpinan KPK 'setengah malaikat'.
Senyatanya, hari Senin ini adalah hari terakhir pendaftaran pimpinan KPK. Saya sudah berusaha meyakinkan beberapa tokoh antikorupsi untuk mendaftar. Saya berharap, hari ini para tokoh berkapasitas dan integritas luar biasa itu berkenan berjuang di KPK. Kiprah KPK jelas sangat vital untuk terus berada di garda depan untuk menyelamatkan bangsa ini dari penyakit paling merusak saat ini: Korupsi!
Sekali lagi, saya menolak pesimis dalam agenda memberantas korupsi. Benar korupsi masih menjadi salah satu masalah utama bangsa ini, tetapi kita tidak hanya mempunyai bad news, tapi banyak pula good news untuk kita optimis dalam memberantas korupsi. Terus berjuang, haram menyerah. Keep on fighting for the better Indonesia. (*/Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar